Jangan Wariskan Budaya Korupsi bagi Anak Cucu ; Pemerintah Harus Bersungguh Reformasi Manajemen Birokrasi Nasional

Pemerintah harus bersungguh-sungguh mereformasi manajemen birokrasi nasional untuk menekan terjadinya tindak pidana korupsi sekaligus memberantas makelar kasus atau markus di tanah air agar bangsa ini tidak mewariskan budaya korupsi bagi anak cucu kelak.

Sementara masyarakat harus bertekad mendorong upaya reformasi birokrasi menyeluruh di semua lini, tingkatan dan jalur di berbagai daerah. Reformasi birokrasi hendaknya tidak secara parsial seperti yang dilakukan selama ini.

Soalnya pemberantasan korupsi tidak gampang dan membutuh waktu hingga 10 tahun ke depan. Bayangkan untuk mengubah perwajahan suratkabar saja perlu waktu 6 bulan, baru berani terbit dengan wajah baru.

"Jika pemerintah sungguh-sungguh melawan kejahatan tindak pidana korupsi seperti halnya di China maupun di Livia,masyarakat juga siap mendukung. Diharapkan pada tahun 2020 sudah tampak hasilnya", kata pengamat ekonomi Jhon Tafbu Ritonga saat berbincang dengan Analisa di Medan, Sabtu (10/4).

Dekan Fakultas Ekonomi USU ini diminta tanggapannya terkait berbagai kasus korupsi di negeri ini termasuk kasus mafia perpajakan maupun markus yang mencuat ke permukaan. Namun harus diakui Kesalahan Indonesia dalam memberantas korupsi setelah reformasi 1998, tidak ada national grand design.

Dia menyebutkan upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak zaman Presiden Soekarno hingga Soeharto. Namun semuannya fokus pada penangkapan tersangkanya. Artinya belum dilakukan secara sungguh-sungguh melalui perbaikan manajemen birokrasi nasional

"Belum ada bukti-bukti di dunia, cara-cara yang bersifat represif. Beberapa literatur menunjukkan, Hongkong dan China menjadi contoh represif di luar. Bahkan di dalam mereka melakukan pembenahan manajemen birokrasi", ungkap Jhon seraya menyebutkan Brazil, Singapura dan Amerika Serikat itu jelas manajemen birokrasinya memenuhi standar good governance yang dalam dunia bisnis disebut good corporate governance.

Pengalaman institusional secara parsial juga menunjukkan pendekatan yang dilakukan korporasi menekan kebocoran sekaligus tingkat efisiensi yang dicerminkan dengan profit. Itu yang dilakukan dunia usaha.

Pengalaman Indonesia selama reformasi kata Jhon Tafbu hanya lembaga-lembaga yang melakukan penataan birokrasinya hingga mereka mendapat penilaian dengan predikat pengecualian adalah Depkeu dan Dephan. Sehingga banyak institusi negara lain datang belajar.

Meski mencuat kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, kasus dugaan pencucian uang dan korupsi Bahasyim Assifie, mantan pegawai pajak, itu bukan berarti penataan birokrasi di negeri ini sudah selesai.

"Tapi dengan terungkapnya bukti-bukti kasus Gayus dan Bahasyim harus dilihat sebagai konsekuensi hasil penataan birokrasi tadi. Ini belum dinyatakan bersih. Tapi kalau dulu kasus-kasus korupsi lenyap begitu saja. Sekarang dengan adanya PPATK bisa diketahui dan ditangkap orangnya", imbuhnya Jhon Tafbu.

Dia menilai pembenahan birokrasi nasional belum tuntas. Ada sebagian besar pembenahan baru Km 10, Km, 20, 30 dan Km 50. Tapi kalau perusahaan sudah di Km 200. Sekarang yang harus dilakukan manajemen birokrasi nasional.

Monopoli

Ditanya kenapa acapkali terjadi korupsi, menurut Jhon kejahatan korupsi, markus dan sebagainya karena adanya monopoli plus diskresi atau kebijakan yang tidak diatur undang-undang dikurangi dengan akuntabilitas. Terjadi markus karena ada monopoli. "Ke depan monopoli harus diminimalisir dan diskresi diatur dengan terukur serta ketidakakuntabilitas kita buang jauh", ujar Jhon.

Menyinggung tentang dampak paling besar bagi negara akibat korupsi, dia menyebutkan antara lain kelumpuhan pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik seperti Rumah Sakit, gedung sekolah, jalan maupun infrastruktur lainnya bahkan menyengsarakan rakyat.

"Apalagi jika pemerintah kurang serius dalam menangani kasus dugaan korupsi di perpajakan dikuatirkan masyarakat enggan membayar pajak. Padahal sektor pajak merupakan andalan bagi penerimaan negara.

Perlu dicatat tax ratio Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah hanya 11,7 % dibanding tetangga kita Malaysia yang mencapai 20,17 % dan Singapura 22,44 %", rinci Jhon Tafbu. (bay)

0 komentar: